Monday, April 16, 2012

Keluh Kesah Mengajar Anak Indonesia di Negeri Orang

Sebelum saya menuliskan beberapa pengalaman mengajar di CLC Permodalan / TKB Morisem 3 estate, saya ajak sejenak untuk kembali merenungi hal berikut ini; Sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pen­didikan wajib belajar 9 tahun untuk setiap warga negara baik yang tinggal di dalam wilayah NKRI maupun di luar negeri. Kenyataan di lapangan, Ten­aga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia, khususnya yang bekerja di sektor perkebunan di sekitar wilayah Sabah, mengalami kesulitan dalam memperoleh pendidikan bagi anak-anaknya.
Dalam pemikiran saya, orang hidup yang paling mulia adalah seberapa besar orang itu bermanfaat atau memberikan konstribusi kepada orang lain. Inventasi bisnis untuk dunia akhirat adalah investasi ilmu. Semua anak bangsa pasti banyak yang tertarik ingin berinventasi ilmu sebagai salah satu ikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Akan tetapi banyak hal yang membatasinya, mahalnya pendidikan, terbatasnya jumlah student body yang bisa belajar di pendidikan tersebut membawa terhempasnya impian dan cita-cita yang mulia karena pintu akses pendidikan hanya untuk jumlah terbatas dan tidak merata. Oleh sebab itu dengan segala keterbasan yang ada saya mempunyai keinginan yang kuat untuk mengabdikan diri kepada generasi penerus bangsa yang ada di negara asing dalam hal ini adalah anak-anak TKI (para pahlawan devisa negara) yang sedang mengais rezeki di negeri jiran, Malaysia melalui pelayanan pendidikan di tengah perkebunan kelapa sawit. Namun demikian mengajar dalam kondisi serba terbatas memang membutuhkan sebuah dedikasi dan kesabaran yang tinggi. Hal ini saya rasakan ketika saya mengajar SMP Terbuka atau di Malaysia lebih dikenal dengan CLC (Community Learning Center). Sejak bulan Oktober 2011 dikirim oleh negara melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam hal ini Dirjen Dikdas / Direktorat P2TKDIKDAS ada beberapa permasalahan yang kami temukan, diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Tempat kegiatan belajar yang jauh dari keramaian (±85km dari permukiman terdekat) serta sulitnya akses transportasi umum, hal ini menyulitkan saya untuk keluar masuk ladang guna keperluan pembelajaran (mengkopi soal, mencari ATK, mencari bahan makan, dsb). Adapun akses jalan yang harus kami lalui juga sangat sulit sekali, sekitar 60 km masih berupa jalan gravel (tanah bercampur batu) dimana saat hujan sangat licin dan sulit dilalui kendaraan apapun. Ketika musim hujan, banyak kendaraan-kendaraan yang terkubur saat melalui jalan ini.
  2. Sarana prasarana sekolah yang sangat kurang bahkan bisa dikatakan tidak ada. Kami menggunakan pusat bimbingan HUMANA (sebuah NGO yang menyelenggarakan pendidikan di ladang kelapa sawit) sebagai Tempat Kegiatan Belajar. Sebagai gambaran, TKB ini hanya tersedia meja dan beberapa kursi yang sudah mulai patah kakinya. Selain itu tidak ada lagi yang lain, bahkan meja / kursi untuk guru pun tidak ada;
  3. Tenaga pendidik dan kependidikan yang masih sangat kurang, di TKB ini di tangani oleh 3 guru bina dan dibantu 1 guru pamong yang berasal dari orang tempatan, jadi rata-rata 1 orang guru bina mengajar 3 mata pelajaran. Hal ini menjadikan proses belajar mengjar tidak bisa maksimal. Guru yang ada di sini adalah Bpk. Zulkarnaen Lubis, SST. dan Bpk. Roni Peterson Bakara, SE. (dua-duanya adalah PNS dari P4TK Medan yang habis masa kontraknya pada bulan Mei 2012) serta saya sendiri. Pada pagi hari kami harus mengajar anak-anak seusia TK dan SD yang belajar di NGO Humana Child Aid Society dengan jumlah murid yang sangat banyak sekali (150 siswa) terbagi dalam 8 tingkatan kelas (Kindergarden 1-2 dan Primary 1-6), jadi 1 orang guru mengajar 2 kelas dalam waktu yang bersamaan. Ini juga menyebabkan rasa lelah yang luar biasa saat mengajar pada sore hari, karena pada pagi hari kami bukan hanya mengajar tapi juga mendidik anak-anak yang secara psikologis ditelantarkan oleh para orang tuanya sehingga terlihat sedikit liar dan nakal.
  4. Media pembelajaran yang masih kurang. Pada saat sekarang ini pendidikan sudah harus ditunjang dengan sebuah teknologi pendidikan yang bagus apabila ingin berhasil dengan baik. Di TKB Morisem 3 estate hanya ada buku modul untuk 10 orang siswa, padahal siswa yang terdaftar ada 12 orang. Beberapa waktu yang lalu kami mendapatkan 1 buah bola takraw dan 1 doz shutlecock itupun tidak ada raketnya. Alhamdulillah pada saat ini saya bisa menulis pengalaman ini di laptop pemberian Kemendikbud setelah sebelumnya digunakan untuk belajar di sekolah. Ya memang TKB ini mendapatkan hak pakai 1  buah laptop untuk menunjang proses pembelajaran di sekolah.
  5. Kesadaran masyarakat (pekerja) terhadap pentingnya pendidikan yang masih sangat rendah. Hal ini sangat menghambat konsep dari CLC itu sendiri, karena proses belajar tidak bisa dilakukan di rumah secara mandiri karena tidak adanya dukungan dari orang tua sehingga proses belajar hanya dilaksanakan di TKB. Mengapa demikian, karena sebagian besar dari mereka adalah pekerja kasar yang tidak pernah mengenyam pendidikan walau tingkat Sekolah Dasar, pola pikir dan ansumsi mereka adalah selama mereka masih kuat, maka mereka masih bisa hidup karena masih bisa bekerja sebagai penombak buah , penabur pupuk, penyabit dan sebagainya yang secara umum tidak memerlukan kecerdasan secara ilmiah. Pola pikir yang demikian secara tidak sengaja tertular dan tertanam kepada anak mereka melalui pengawasan perkembangan proses belajar di rumah.
  6. Waktu/kesempatan belajar siswa yang sangat terbatas karena mereka harus bekerja di waktu pagi hari. Ini menjadi salah satu hambatan dalam belajar karena mereka sudah terlalu capek untuk menangkap materi dalam proses belajar mengajar.
  7.  Jarak tempat tinggal siswa dengan sekolah sangat jauh, dengan akses transportasi sangat terbatas. Sarana transportasi yang dipakai adalah kendaraan antar jemput dari perusahaan perkebunan dalam hal ini kami ditempatkan di perusaahn kelapa sawit IOI Group Corporation.
  8. Status yang tidak jelas. Banyak pekerja yang sudah menetap di sini bertahun-tahun sehingga sampai terjadi perkawinan yang tentunya hanya dilakukan sesuai syariat agama karena menikah di negeri asing (tidak ada KUA). Hal ini tentu bermasalah dengan dokumen perkawinan mereka dan berdampak secara langsung terhadap status keluarga utamanya anak-anak mereka. Banyak anak usia sekolah yang belum mempunyai dokumen, baik paspor apalagi Akta Kelahiran. Dalam kondisi demikian maka akan menghambat proses pelayanan pendidikannya.
  9. Ijin tinggal kami yang kadang-kadang dipersulit oleh kantor imigrasi Malaysia padahal Kementerian Pelajaran Malaysia sudah mengeluarkan Teaching Permit. Hal ini sangat mengganggu kami, karena kalau sudah masa ijin tinggal (visa) kami akan habis, kami harus sering keluar masuk ladang untuk mengurusnya, bahkan kadang-kadang sampai 2 minggu harus meninggalkan proses belajar mengajar karena mengurus visa ke kota yang jaraknya sampai 400 km.


Itulah beberapa permasalahan anak-anak TKI yang ada di daerah Sabah, Malaysia utamanya di CLC Morisem 3 Estate. Sebenarnya masih banyak sekali masalah-maslaah yang harus memerlukan pemikiran kita bersama untuk memberikan solusi terbaik untuk kepentingan pendidikan anak-anak TKI di Sabah Malaysia ini. Dan permasalahan-permsalahan di atas tidak saya jadikan sebagai hambatan, tetapi justru menjadi sebuah tantangan bagi saya untuk berjuang lebih banyak demi secercah harapan generasi penerus bangsa yang secara geografis kurang beruntung akan hak pelayanan pendidikan dari Negara. Hal tersebut saya pandang sebagai peluang yang harus diambil. Peluang/dukungan positif tersebut diantaranya adalah:
  1. Perlindungan penuh dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia Kota Kinabalu dan Konsul RI Tawau, sehingga ini menjadi beginning position bagi kami untuk berbuat dan terjun langsung di tengah-tengah masyarakat pekerja dan atau pihak perusahaan.
  2.  Dukungan tempat tinggal dari pihak perusahaan yang baik. Sebagai gambaran di CLC / TKB Morisem 3 Estate kami guru-guru dari Indonesia disediakan rumah sendiri di perumahan staf perusahaan dengan fasilitas yang lumayan lengkap.
  3. Dengan adanya CLC / SMP Terbuka di sini, mulai muncul kesadaran dari masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaaknya. Serta mulai ada anggapan bahwa pemerintah mulai memperhatikan mereka, khususnya dari segi pendidikan anak-anaknya.
  4.  Kendaraan antar jemput dari pihak perusahaan sangat membantu transportsi anak-anak untuk pergi ke sekolah sebagi tempat kegiatan belajar. Namun kadang-akang ada masalah ketika kendaraan rusak.
  5. Kemauan dan semangat yang kuat dari anak-anak untuk belajar. Ini secara tidak langsung membangkitkan saya untuk berbuat lebih baik terhadap pengabdian ini. Bahkan ada beberapa siswa yang harus menyeberangi Sungai Kinabatangan yang luas hanya dengan menggunakan perahu kecil saat mau ke sekolah, dimana sungai itu terkenal dengan buayanya yang buas. Namun demi alasasan masa depan,  semangat mereka untuk berangkat sekolah tidak pernah kendur sedikitpun.
  6. Tempat belajar. Alhamdulillah walau sangat terbatas, masih ada tempat yang bisa kami gunakan untuk kegiatan belajar mengajar.
  7. Lingkungan tempat tinggal yang sangat menyenangkan, mulai dari masyarakatnya yang sangat senang akan kedatangan saya di sini, serta kondisi alamnya yang masih alami sehingga kalau ada waktu luang tidak jarang kami pergi jalan-jalan sekedar melepas kepenatan untuk memancing ikan/udang dan mencari sayur dan buah. Ya memang ladang Morisem 3 ini berbatasan langsung dengan hutan simpan (hutan lindung:red) yang di tengah-tengahnya juga melintas sebuah sungai besar yaitu Sungai Kinabatangan. Setiap hari saya bisa mendengarkan kicauan berbagai jenis burung, mulai dari perkutut sampai murai batu bahkan elang, rangkok masih hidup bebas bahkan sering hinggap di teras rumah. Ini menjadikan kondisi mental dan psikologis saya yang jauh dari anak dan istri sedikit mendapatkan ketenangan.
  8. Kekompakan tim. Kami dikirim dari berbagai daerah dari seluruh Indonesia, kemudian di sini melebur menjadi sebuah tim dengan satu tujuan demi tugas negara mengemban amanah pembukaan UUD 1945 ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kondisi demikian walau secara geografis kami ditempatkan saling berjauhan tetapi tetap saling membantu apabila salah satu mendapatkan masalah. Pertemuan rutinpun kami adakan setiap 1 bulan sekali di Lahad Datu (sebuah kota kecil yang secara umum berada di tengah).

Berdasarkan hal-hal di atas, maka ada beberapa saran dan harapan yang perlu saya sampaikan kepada pengambil kebijakan, diantaranya:
  1. Anak-anak TKI memang membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus secara berkesinambungan karena mereka juga mempunyai hak yang sama sebagai Warga Negara Indonesia seperti halnya anak-anak yang ada di dalam negeri. Pemerintah Indonesia harus meningkatkan hubungan dengan Malaysia secara intensif khususnya tentang penanganan masalah pendidikan ana-anak TKI di negeri Sabah.
  2. Pemerintah Indonesia melalui perwakilannya yang ada di negeri Sabah Malaysia harus terjun langsung ke lading-ladang kelapa sawit untuk menjelaskan kepada pihak perusahaan akan hak anak-anak mendapatkan pelayanan pendidikan, sehingga harapanya terjadi kerjasama. Untuk di CLC Morisem 3 estate ada harapan mendirikan CLC tingkat Sekolah Dasar, namun tentunya ini memerlukan pendekatan progresif dari Pemerintah Indonesia.
  3. Melengkapi fasilitas belajar, seperti; buku, alat peraga, alat olah raga, komputer dan ATK.
  4. Mempermudah proses pendaftaran anak untuk bisa masuk sekolah di CLC/SMP Terbuka, karena ketiadaan dokumen mereka.
  5. Menambah tenaga pendidik yang berkompeten dan mempunyai dedikasi tinggi terhadap pendidikan.
  6. Menyediakan kendaraan antar jemput bagi siswa, sehingga tidak tergantung ke pihak perusahaan.
  7. Meningkatkan kesejahteraan pendidik, mengingat konsekuensi yang harus diambil oleh para guru yang dikirim ke sini, diantaranya adalah jauh dengan keluarga dan biaya hidup yang mahal.


Demikian sedikit pengalaman saya saat mengajar anak-anak TKI di negeri Sabah, Malaysia. Oh ya, tadi saya katakana bahwa ladang tempat saya mengajar berbatasan langsung dengan hutan simpan sukau, jadi sering ada binatang-binatang yang  dilindungi (gajah, monyet, buaya) masuk ke ladang. Bahkan suatu ketika saat saya bangun pukul 03.00 dini hari, saya dikagetkan dengan kedatangan seekor induk gajah yang sudah merusak pohon kelapa yang ada tepat di depan pintu rumah saya. Sebuah pengalaman luar biasa bisa melihat gajah secara langsung  di depan rumah.
Nah pembaca, hakikat pendidikan adalah mengubah budaya. Apa yang sering dilupakan banyak orang adalah bahwa sekolah-sekolah kita telah memiliki budaya sekolah (”school culture”) yaitu seperangkat nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan menyejarah sejak negara ini merdeka. Tanpa keberanian mendobrak kebiasaan ini, apa pun model pendidikan dan peraturan yang diundangkan, akan sulit bagi kita untuk memperbaiki mutu pendidikan. Berikut beberapa foto kegiatan belajar mengajar di TKB kami:








3 comments:

leosoil2@yahoo.co.id said...

mas ada info penerimaan tenaga pendidik ke sabah gak untuk tahun 2012??saya tertarik mau bergabung

Gaguk said...

belum ada info lagi, pantau terus blog saya..

Erik Valentino said...

Kalau ada info lagi tentang mengajar disana tlong kasih tau ya Pak...
Thankzs...
sy tertarik sekali...