Wednesday, January 08, 2014

Barter Ala Anak Ladang

Perjalanan saya mengabdikan diri di bumi Sabah, Malaysia sudah genap 2 tahun. Bahkan kini sudah memasuki periode kontrak ke-2, artinya ada amanah mulia yg begitu berat yg harus kembali terpikul selama 2 tahun ke depan. Malam itu ada BBM dari teman saya, yang kemudian kembali membangunkan saya dari tidur panjang, beristirahat menulis yang seakan ndak pernah kembali bangun dan bangkit. Kata teman saya, "Hei kemana saja kamu, mana tulisan-tulisanmu itu? Ini ladang bro, ladang untuk merangkai cerita indah kita, yang kelak akan dibaca dan menjadi penyemangat bagi generasi penerus kita akan arti sebuah pengorbanan, pengabdian dan keikhlasan serta kesabaran".
Bak Kumbakarna dicabut bulu cupunya saat bertapa di gunung kumba-kumba, saya terbangun dan tersadar, padahal saya saat itu sedang tidur di sebuah shelter di kantor perwakilan RI di Tawau. Ya memang saya sedang membantu konsulat yang sedang mengadakan sidang istbat nikah terhadap 795 pasangan TKI yang menikah sirri di Malaysia. Segera kuraih smartphone yang telah setia menemani hari-hariku, kuberniat menulis sebuah pengalamanku selama di sini. Dan memang tidak terlalu sulit menemukan pengalaman-pengalaman menarik selama di sini, karena sebetulnya semua hari-hariku disini adalah gudang pengalaman menarik yang jika diputar balik oleh mesin waktu pasti akan menjadi film dokumenter yang mencengangkan dunia. Betapa tidak, saya yang termasuk dri 250an guru-guru yang dikirim Pemerintah Indonesia menjadi garda terdepan dalam melayani 1,5 juta hak warga negara yang menjadi pahlawan devisa bagi bangsa Indonesia, ditempatkan di tengah-tengah hutan sawit, yang terhampar luas se negeri sabah, yang apabila dilihat dari udara memang bak hamparan permadani hijau raksasa. Saya sendiri ditempatkan di sebuah ladang yang berjarak 85 km dari pusat kota kecamatan atau sekitar 2-3 jam waktu perjalanan menggunakan kendaraan mobil. Akses untuk masuk ke ladang, biasa menggunakan kendaraan mobil yang hanya ada 1 kali dalam 1 hari. Jalan sekian panjang masih berupa jalan tanah yang apabila hujan bukan lagi licin tapi bisa-bisa mobil truk pun terpendam di tengah jalan, dan apabila musim kemarau tiba, debu berterbangan menjadikan setiap apapun yg melintas akan terbungkus oleh debu tidak kurang dari 5 mm. Ada jalan lain untuk masuk ke ladang tempat saya bertugas dan separuh jalannya sudah diaspal, tetapi harus menyeberangi sungai Kinabatangan, sungai terbesar dan terpanjang se-Sabah Malaysia yang konon dihuni oleh buaya2 raksasa.

Dengan akses seperti itu tentu saya sangat terbatas, bahkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja harus ke kota dengan jarak yang sangat jauh. Namun segala keterbatasan itu, tidak melemahkan semangat saya dan teman-teman untuk terjun menemani anak-anak negeri bermimpi dan meraih mimpinya. Saya pribadi, ini adalah amanah UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak baik yang ada di dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga negara wajib bertanggungjawab terhadap kondisi pendidikan mereka. Selain itu, sebagai seorang guru saya sadar betul bahwa saya merasa harus terus membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa sangat tergantung kepada kehidupan para generasi mudanya. Miris memang ketika melihat kehidupan TKI kita yang bekerja di sektor perkebunan sawit di Sabah, Malaysia ini, betapa tidak, ribuan anak usia sekolah dipaksa oleh budaya dan kehidupan untuk bekerja mengais riski di dalam blok-blok kelapa sawit. Mereka menabur pupuk, mengambil biji sawit yang terjatuh dari pohonnya, menggendong tabung spray obat pembunuh rumput. Padahal usia mereka masih 13-17an tahun. Hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan seakan terpasung, dan ini harus dibenahi. Tentu kesalahan seperti ini tidak boleh dibiarkan. Pemerintah sudah dalam langkah kebijakan yang benar, saya dan teman-teman dikirim ke sini, disebar, ditempatkan di ladang-ladang kelapa sawit di seluruh pelosok sabah, sebuah negara bagian dari kerajaan persekutuan Malaysia yang berbatasan langsung dengan provinsi Kalimantan Utara.

Mengajar di sini tentu sangat berbeda dengan yang ada di dalam negeri baik dari sisi gedung sekolah, ketersediaan fasilitas belajar, jumlah guru maupun kondisi psikologi anak didik, serta kebebasannya. Setiap pagi saya mengajar di Pusat Bimbingam Humana House 39 di Ladang Morisem 3, merupakan area perkebunan kelapa sawit milik IOI Coorporation. Di pusat bimbingan ini ada 135 siswa mulai tingkat Tadika (TK:red) dan Darjah (SD:red). Saya mengajar bersama 3 guru. Setiap hari saya mengajar kelas multigrade, dengan sebaran umur yang tidak merata. Hal ini terjadi karena banyak anak2 yang terlambat masuk ke bangku sekolah, ada yang umur 8 tahun belum bisa mengenal angka dan huruf dan baru masuk sekolah. Ini menjadi masalah tersendiri, dimana saya dan teman-teman harus bisa membangun kepercayaan diri mereka apabila harus belajar bersama dengan anak usia yang 3 tahun di bawahnya. Bangunan yang terpakai juga seadanya, sesuai dengan kebijakan perusahaan. Sering saya ajak anak2 belajar di bawah pohon kelapa, kadang di tepi parit, atau kadang berjalan 1 km, ke pinggir hutan lindung yang berbatasan langsung dengan perkebunan dimana saya tinggal. Bahkan pernah suatu ketika, saat belajar di tepi parit ada salah satu siswa saya berteriak-teriak, "ada nenek! Lari...." teriak safiq, salah satu murid saya yang paling besar. Tak pelak semua murid saya yang sedang belajar cara mentaksir ketinggian suatu pohon berlari tunggang langgang kecuali Haslisa (murid perempuan saya yg paling kecil) dia menangis dan terduduk di tempatnya, saya yang tidak tahu apa2, bingung dan yasudah, saya gendong saja Haslisa, larilah saya ikut murid-murid saya ke sebuah pondok penjaga keamanan. "Ada neneknya siapa kalian kok lari semua?" tanya saya sambil terheran-heran. "Itu mereka, Aih banyaknya." tiba-tiba Jerick sambil menunjuk ke segerombol hewan yang sudah tidak asing lagi sebetulnya bagi saya walau baru melihat gambarnya di buku dan TV. Dari jauh saya lihat ada 5 ekor gajah menuju pinggir parit yang menjadi pembatas antara hutan dan perkebunan itu. Ya, ternyata yang disebut anak-anak dengan panggilan nenek tadi tidak lain adalah gajah, di sini gajah dipanggil nenek, dari mana bisa panggil seperti itu, saya tanya ke orang yang di sini pun juga tidak tahu.

Namun memang tidak ada usaha yang tidak butuh pengorbanan, saya dan semua teman-teman yang dikirim ke sini secara mutlak menyerahkan diri secara totalitas menemani, mendampingi, mengajak dan menjaga aset bangsa yang masih terserak di negeri orang ini untuk mengenal dan belajar tentang negaranya, tentang tanah tumpah darahnya, tentang asal muasal nenek moyangnya, tentang kekayaan budaya bangsanya, tentang keindahan alam Indonesia, dan tentang semua yang ada di tanah surga kita Indonesia. Waktu saya memang habis untuk mereka, anak-anak polos yang haus akan cerita indah tentang kabar negerinya itu. Kita sama-sama saling mengisi, saya mencoba mengisi kekosongan pengetahuan mereka dengan sedikit ilmu yang saya punya, sementara mereka mengisi hati saya dengan sebuah arti pengorbanan dan keikhlasan untuk berbagi kepada sesama walau hanya secuil ilmu yang kupunya.

Tawa mereka adalah obat paling mujarab akan kerinduan terhadap keluarga saya, Khansa dan Bundanya. Setiap pagi mereka selalu berlari-lari kecil menyambut kedatangan saya, ada yang memeluk, menggelayut, menggandeng, bahkan tas gendong saya yang kusam ditariknya untuk sekedar membantu memasukkan ke dalam kelas dan nenggantungkan di paku yang tertancap di dinding sekolah kayu yang reyot itu. Setiap pagi saya selalu mengajak mereka berbaris rapi di halaman yang tidak rata karena berupa bebatuan tercampur dengan tanah. Dengan sikap tegak bak pemain Timnas Sepak Bola U-19 yang akan membabat habis Korea Selatan beberapa waktu lalu, mereka dengan suara lantang setengah berteriak-teriak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Rasa Nasionalisme murni yang begitu tinggi dari mereka, yang menanti kabar baik dari dalam negerinya sendiri tanpa sebuah tendensi apa-apa. Mereka seakan berteriak kepada para pemimpin di Indonesia, "ini lho saya kirim sebongkah kesederhanaan, nasionalisme dan cinta tanah air dari negeri orang lain, agar kalian terima di surga Indonesia".

Sore hari saya mengajar CLC, adalah merupakan nama lain dari SMP Terbuka di Sabah Malaysia. Ada 20 anak yang belajar di CLC. Sebetulnya saya melihat keseriusan pemerintah dalam hal pengamalan UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yakni Program Wajib Belajar 9 tahun. Anak-anak yang bekerja di sini, bisa sekolah di SMP Terbuka selayaknya di dalam negeri. Buku-buku modul dikirim langsung dari Indonesia, menggunakan kurikulum murni indonesia dan sudah dilegalkan oleh Kementerian Pelajaran Malaysia. Kebanyakan dari mereka yang belajar di CLC kalau pagi bekerja, kemudian sore hari baru belajar. Adapaun kegiatan malam, saya habiskan dengan belajar membaca al-qur'an bersama anak-anak di surau. Di sinilah yang saya rasa tidak kalah penting, kami dikirim ke sini tidak semata-mata hanya sekedar mengajar di sekolah saja akan tetapi juga harus mampu mendidik kelompok masyarakat pekerja dalam aspek aqidah dan keagamaan lainnya. Kebanyakan guru di sini, menajdi bahan rujukan dan atau referensi oleh masyarakat sekitar, apabila mereka terjadi sebuah masalah atau belum faham tentang sesuatu. Pernah suatu ketika teman saya terpaksa menjadi bidan bayi, menolong orang yang akan melahirkan karena tidak ada bidan di ladangnya. Tidak sedikit yang menjadi mudin (mengurus jenasah), serta semua guru laki-laki yang beragama islam selalu mendapat sampur untuk menjadi khotib bahkan ada menjadi yang imam besar masjid.

Kalau libur hari minggu, sering saya diajak anak-anak untuk pergi memancing, sebuah kegiatan yang saat di jawa, saya sangat tidak menyukainya karena tidak sabar menunggu. Namun di sini memancing menjadikan saya ketagihan, betapa tidak kalau memancing seakan seperti mengail ikan-ikan-an mainan anak-anak yang kita bisa memilih sendiri ikan yang akan kita pancing. Sekali memancing, 2 orang (saya dengan murid saya) saya bisa membawa pulang ikan 1 ember, padahal hanya dalam waktu kurang dari 1 jam.

Suatu hari, tepatnya hari minggu saat itu, datanglah 2 orang murid saya ke rumah, sebuah rumah panggung yang apabila siang panasnya bak oven raksasa karena atapnya yang terbuat dari seng dan lantai kayu dilapisi karpet plastik. Mereka terlihat membawa bungkusan besar yang terbuat dari daun pisang, "Assalamu'alaikum pak guru, pak kami ingin barter dengan Pak Gaguk." kata Acok, begitu dia sering dipanggil teman-temannya di sekolah, padahal nama aslinya Aditya Saputra. "Wa'alaikumsalam.., barter apa?" tanya saya dengan agak heran. Mereka ini rumahnya agak jauh dari tempat saya tinggal, tepatnya dia tinggal di kawasan Morisem 2 estate, sedangkan saya di Morisem 3 estate, jarak kedua ladang sekitar 12 km. "Kami ingin barter jamur dengan kabirau pak", kata murid saya satunya lagi, Andi. Saya paham yang dimaksud kabirau itu adalah do'a iftitah, mereka sedang belajar keras tentang sholat, mereka sudah duduk di kelas 5 tapi belum pandai bacaan-bacaan sholat. "Yaampun, jadi kalian tadi cari jamurnya dimana? Terus ke sini naik apa?" cecarku agak terkejut mendengar jawaban Andi tadi. "Di blok lah pak.., di bekas tandan kosong, kami jalan kaki sudah biasa pak, bukan jauh", jawab Andi dengan logat bugisnya. Ya hampir 98 % TKI di sini memang dari Sulawesi, utamanya suku bugis. 12 km tidak jauh? Gumamku dalam hati. Akhirnya mereka belajar menghafal do'a iftitah di rumah, setelah sebelumnya saya tuliskan di papan yang memang saya sediakan jika ada anak yang mau belajar di rumah. Sementara mereka menghafal, saya memasak jamur yang mereka bawa. Mereka belum hafal saat itu juga, tetapi saya sangat menghargai dan kagum akan kesungguhan mereka untuk mencari ilmu dan menghargai ilmu, walau dengan cara yang mungkin bagi sebagian orang sederhana, tapi menurut saya ini hal yang luar biasa. Saya ajak mereka makan bersama dengan menu tumis jamur, telur dadar dan sambal belacan ditambah kerupuk udang. Saya ajarkan bagaimana adab makan yang benar, saya ajak berdoa sebelum makan, membersihkan meja makan dan sebagainya. Nah dengan praktek langsung seperti ini menurut saya lebih efektif dibanding kita berpodato 1 jam di dalam kelas. Mereka anak-anak di sini haus akan sentuhan kasih sayang dari orang tuanya, haus akan pendidikan akhlak dan budi pekerti. Mereka yang tinggal di rumah-rumah reyot yang disediakan perusahaan ini, belajar dengan kerasnya kehidupan. Para orang tua mereka waktunya habis untuk bekerja, jam 5 pagi sudah harus berkumpul di pooling untuk diabsen di sebuah tempat, kemudian dikirim ke blok-blok kelapa sawit menggunakan kendaraan traktor dengan bak terbuka yang biasa digunakan untuk mengangkut buah kelapa sawit. Sementara pulang kerja jam 5 petang, praktis anak-anak mereka dibiarkan bermain seharian, dan belajar sendiri tentang kehidupan. Di sinilah pentingnya peran guru menurut saya, membantu mendampingi anak-anak itu, agar tidak salah mengartikan arti hidup dan kehidupan serta memiliki pedoman yang jelas dalam menyongsong masa depannya masing-masing. Hari sudah sore, Acok dan Andi akhirnya berpamitan pulang dengan membawa sepenggal hasil hafalan doa iftitah. Jamur barter dengan doa iftitah. Sesuatu yang sederhana dan menjadi luar biasa, semua tergantung niat dan semangat. Semenjak itu, mereka dengan teman-temannya yang lain sering pergi ke rumah dan mereka sebut akan barter. Ada yang bawa pakis mau dibarter dengan soal matematika, ada yang bawa ubi dibarter dengan minta diajari membuat pelangi, bahkan sering juga ada yang bawa ayam hutan mau dibarter dengan mengajak bermain bulu tangkis. Namun suatu ketika saya jelaskan, sistem barter sekarang sudah tidak ngetrend lagi, skrg harus melalui transaksi online kata saya. Tidak berlaku lagi sistem barter, haha saya takut saja ini menjadi turun temurun dan salah kaprah. "Onlen melalui fesbuk ya pak guru?" kata Enka, disambut tawa teman-temannya suatu sore yang indah, di depan rumah di sebuah meja kayu yang tebal di bawah pohon kedondong yang sering dihinggapi burung serawak, perkutut, murai dan jalak. "Begini, Pak Guru sudah tidak memberlakukan sostem barter lagi, tapi via online dengan Alloh. Anak-anak cukup mendoakan pak guru, orang tua kalian, saudara-saudara kalian di setiap doa-doa kalian minimal setelah sembahyang 5 waktu atai saat di gereja bagi yang non muslim. Doa itu adalah alat membayar ilmu yang telah kalian dapat dari gurumu, riski yang telah diterima melalui orang tuamu, kasih sayang dari orang-orang di sekitarmu". Jawabku.

Begitulah hari-hariku selalu diajarkan oleh mereka arti kebahagiaan hidup. Arti mengajar dan mendidik yang sesungguhnya, yang bukan hanya sekedar masuk kelas dan menunggu bel jam ganti pelajaran usai, bukan hanya sekedar mencari nilai raport dan mengantarkan anak didik lulus dalam sebuah ujian. Tapi lebih dari itu kita bisa mengajak mereka bermimpi, memberikan harapan bagi mereka orang-orang yang dalam kondisi terbatas, bahkan mengajak berlari menyambut masa depannya. Anak Ladang itu, kini punya harapan dan semangat baru, mereka sadar bhwa hidup itu harus bermimpi dan mengejar mimpi itu sampai dapat. Bahwa keterbatasan adalah bukan penghalang untuk bisa berharap dan mewujudkan sebuah harapan. Mereka belajar mengenal Indonesia seutuhnya, mereka mendalami aqidahnya agar kelak bisa menjadi pemimpin yang amanah, mereka mengeksplorasi seni budaya baik tari ataupun musik agar bisa merasakan indahnya kehidupan.

No comments: