Perjalanan saya mengabdikan diri di
bumi Sabah, Malaysia sudah genap 2 tahun. Bahkan kini sudah memasuki periode
kontrak ke-2, artinya ada amanah mulia yg begitu berat yg harus kembali
terpikul selama 2 tahun ke depan. Malam itu ada BBM dari teman saya, yang
kemudian kembali membangunkan saya dari tidur panjang, beristirahat menulis
yang seakan ndak pernah kembali bangun dan bangkit. Kata teman saya, "Hei
kemana saja kamu, mana tulisan-tulisanmu itu? Ini ladang bro, ladang untuk merangkai
cerita indah kita, yang kelak akan dibaca dan menjadi penyemangat bagi generasi
penerus kita akan arti sebuah pengorbanan, pengabdian dan keikhlasan serta
kesabaran".
Bak Kumbakarna dicabut bulu cupunya saat bertapa di gunung
kumba-kumba, saya terbangun dan tersadar, padahal saya saat itu sedang tidur di
sebuah shelter di kantor perwakilan RI di Tawau. Ya memang saya sedang membantu
konsulat yang sedang mengadakan sidang istbat nikah terhadap 795 pasangan TKI
yang menikah sirri di Malaysia. Segera kuraih smartphone yang telah setia
menemani hari-hariku, kuberniat menulis sebuah pengalamanku selama di sini. Dan
memang tidak terlalu sulit menemukan pengalaman-pengalaman menarik selama di
sini, karena sebetulnya semua hari-hariku disini adalah gudang pengalaman
menarik yang jika diputar balik oleh mesin waktu pasti akan menjadi film
dokumenter yang mencengangkan dunia. Betapa tidak, saya yang termasuk dri 250an
guru-guru yang dikirim Pemerintah Indonesia menjadi garda terdepan dalam
melayani 1,5 juta hak warga negara yang menjadi pahlawan devisa bagi bangsa
Indonesia, ditempatkan di tengah-tengah hutan sawit, yang terhampar luas se
negeri sabah, yang apabila dilihat dari udara memang bak hamparan permadani
hijau raksasa. Saya sendiri ditempatkan di sebuah ladang yang berjarak 85 km
dari pusat kota kecamatan atau sekitar 2-3 jam waktu perjalanan menggunakan
kendaraan mobil. Akses untuk masuk ke ladang, biasa menggunakan kendaraan mobil
yang hanya ada 1 kali dalam 1 hari. Jalan sekian panjang masih berupa jalan
tanah yang apabila hujan bukan lagi licin tapi bisa-bisa mobil truk pun
terpendam di tengah jalan, dan apabila musim kemarau tiba, debu berterbangan
menjadikan setiap apapun yg melintas akan terbungkus oleh debu tidak kurang
dari 5 mm. Ada jalan lain untuk masuk ke ladang tempat saya bertugas dan
separuh jalannya sudah diaspal, tetapi harus menyeberangi sungai Kinabatangan,
sungai terbesar dan terpanjang se-Sabah Malaysia yang konon dihuni oleh buaya2
raksasa.
Dengan akses seperti itu tentu saya
sangat terbatas, bahkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja harus ke
kota dengan jarak yang sangat jauh. Namun segala keterbatasan itu, tidak
melemahkan semangat saya dan teman-teman untuk terjun menemani anak-anak negeri
bermimpi dan meraih mimpinya. Saya pribadi, ini adalah amanah UUD 1945, bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak baik yang ada di
dalam negeri maupun luar negeri. Sehingga negara wajib bertanggungjawab
terhadap kondisi pendidikan mereka. Selain itu, sebagai seorang guru saya sadar
betul bahwa saya merasa harus terus membantu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kehidupan bangsa sangat tergantung kepada kehidupan para generasi mudanya.
Miris memang ketika melihat kehidupan TKI kita yang bekerja di sektor
perkebunan sawit di Sabah, Malaysia ini, betapa tidak, ribuan anak usia sekolah
dipaksa oleh budaya dan kehidupan untuk bekerja mengais riski di dalam
blok-blok kelapa sawit. Mereka menabur pupuk, mengambil biji sawit yang
terjatuh dari pohonnya, menggendong tabung spray obat pembunuh rumput. Padahal
usia mereka masih 13-17an tahun. Hak-hak mereka untuk mendapatkan pendidikan
seakan terpasung, dan ini harus dibenahi. Tentu kesalahan seperti ini tidak
boleh dibiarkan. Pemerintah sudah dalam langkah kebijakan yang benar, saya dan
teman-teman dikirim ke sini, disebar, ditempatkan di ladang-ladang kelapa sawit
di seluruh pelosok sabah, sebuah negara bagian dari kerajaan persekutuan
Malaysia yang berbatasan langsung dengan provinsi Kalimantan Utara.
Mengajar di sini tentu sangat berbeda
dengan yang ada di dalam negeri baik dari sisi gedung sekolah, ketersediaan
fasilitas belajar, jumlah guru maupun kondisi psikologi anak didik, serta
kebebasannya. Setiap pagi saya mengajar di Pusat Bimbingam Humana House 39 di
Ladang Morisem 3, merupakan area perkebunan kelapa sawit milik IOI
Coorporation. Di pusat bimbingan ini ada 135 siswa mulai tingkat Tadika
(TK:red) dan Darjah (SD:red). Saya mengajar bersama 3 guru. Setiap hari saya
mengajar kelas multigrade, dengan sebaran umur yang tidak merata. Hal ini
terjadi karena banyak anak2 yang terlambat masuk ke bangku sekolah, ada yang
umur 8 tahun belum bisa mengenal angka dan huruf dan baru masuk sekolah. Ini
menjadi masalah tersendiri, dimana saya dan teman-teman harus bisa membangun
kepercayaan diri mereka apabila harus belajar bersama dengan anak usia yang 3
tahun di bawahnya. Bangunan yang terpakai juga seadanya, sesuai dengan
kebijakan perusahaan. Sering saya ajak anak2 belajar di bawah pohon kelapa,
kadang di tepi parit, atau kadang berjalan 1 km, ke pinggir hutan lindung yang
berbatasan langsung dengan perkebunan dimana saya tinggal. Bahkan pernah suatu
ketika, saat belajar di tepi parit ada salah satu siswa saya berteriak-teriak,
"ada nenek! Lari...." teriak safiq, salah satu murid saya yang paling
besar. Tak pelak semua murid saya yang sedang belajar cara mentaksir ketinggian
suatu pohon berlari tunggang langgang kecuali Haslisa (murid perempuan saya yg
paling kecil) dia menangis dan terduduk di tempatnya, saya yang tidak tahu
apa2, bingung dan yasudah, saya gendong saja Haslisa, larilah saya ikut
murid-murid saya ke sebuah pondok penjaga keamanan. "Ada neneknya siapa
kalian kok lari semua?" tanya saya sambil terheran-heran. "Itu
mereka, Aih banyaknya." tiba-tiba Jerick sambil menunjuk ke segerombol
hewan yang sudah tidak asing lagi sebetulnya bagi saya walau baru melihat
gambarnya di buku dan TV. Dari jauh saya lihat ada 5 ekor gajah menuju pinggir
parit yang menjadi pembatas antara hutan dan perkebunan itu. Ya, ternyata yang
disebut anak-anak dengan panggilan nenek tadi tidak lain adalah gajah, di sini
gajah dipanggil nenek, dari mana bisa panggil seperti itu, saya tanya ke orang
yang di sini pun juga tidak tahu.
Namun memang tidak ada usaha yang
tidak butuh pengorbanan, saya dan semua teman-teman yang dikirim ke sini secara
mutlak menyerahkan diri secara totalitas menemani, mendampingi, mengajak dan
menjaga aset bangsa yang masih terserak di negeri orang ini untuk mengenal dan
belajar tentang negaranya, tentang tanah tumpah darahnya, tentang asal muasal
nenek moyangnya, tentang kekayaan budaya bangsanya, tentang keindahan alam
Indonesia, dan tentang semua yang ada di tanah surga kita Indonesia. Waktu saya
memang habis untuk mereka, anak-anak polos yang haus akan cerita indah tentang
kabar negerinya itu. Kita sama-sama saling mengisi, saya mencoba mengisi
kekosongan pengetahuan mereka dengan sedikit ilmu yang saya punya, sementara
mereka mengisi hati saya dengan sebuah arti pengorbanan dan keikhlasan untuk
berbagi kepada sesama walau hanya secuil ilmu yang kupunya.
Tawa mereka adalah obat paling
mujarab akan kerinduan terhadap keluarga saya, Khansa dan Bundanya. Setiap pagi
mereka selalu berlari-lari kecil menyambut kedatangan saya, ada yang memeluk,
menggelayut, menggandeng, bahkan tas gendong saya yang kusam ditariknya untuk
sekedar membantu memasukkan ke dalam kelas dan nenggantungkan di paku yang
tertancap di dinding sekolah kayu yang reyot itu. Setiap pagi saya selalu
mengajak mereka berbaris rapi di halaman yang tidak rata karena berupa bebatuan
tercampur dengan tanah. Dengan sikap tegak bak pemain Timnas Sepak Bola U-19
yang akan membabat habis Korea Selatan beberapa waktu lalu, mereka dengan suara
lantang setengah berteriak-teriak menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Rasa Nasionalisme murni yang begitu tinggi dari mereka, yang menanti kabar baik
dari dalam negerinya sendiri tanpa sebuah tendensi apa-apa. Mereka seakan
berteriak kepada para pemimpin di Indonesia, "ini lho saya kirim sebongkah
kesederhanaan, nasionalisme dan cinta tanah air dari negeri orang lain, agar
kalian terima di surga Indonesia".
Sore hari saya mengajar CLC, adalah
merupakan nama lain dari SMP Terbuka di Sabah Malaysia. Ada 20 anak yang
belajar di CLC. Sebetulnya saya melihat keseriusan pemerintah dalam hal pengamalan
UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yakni Program Wajib
Belajar 9 tahun. Anak-anak yang bekerja di sini, bisa sekolah di SMP Terbuka
selayaknya di dalam negeri. Buku-buku modul dikirim langsung dari Indonesia,
menggunakan kurikulum murni indonesia dan sudah dilegalkan oleh Kementerian
Pelajaran Malaysia. Kebanyakan dari mereka yang belajar di CLC kalau pagi
bekerja, kemudian sore hari baru belajar. Adapaun kegiatan malam, saya habiskan
dengan belajar membaca al-qur'an bersama anak-anak di surau. Di sinilah yang
saya rasa tidak kalah penting, kami dikirim ke sini tidak semata-mata hanya
sekedar mengajar di sekolah saja akan tetapi juga harus mampu mendidik kelompok
masyarakat pekerja dalam aspek aqidah dan keagamaan lainnya. Kebanyakan guru di
sini, menajdi bahan rujukan dan atau referensi oleh masyarakat sekitar, apabila
mereka terjadi sebuah masalah atau belum faham tentang sesuatu. Pernah suatu
ketika teman saya terpaksa menjadi bidan bayi, menolong orang yang akan
melahirkan karena tidak ada bidan di ladangnya. Tidak sedikit yang menjadi
mudin (mengurus jenasah), serta semua guru laki-laki yang beragama islam selalu
mendapat sampur untuk menjadi khotib bahkan ada menjadi yang imam besar masjid.
Kalau libur hari minggu, sering saya
diajak anak-anak untuk pergi memancing, sebuah kegiatan yang saat di jawa, saya
sangat tidak menyukainya karena tidak sabar menunggu. Namun di sini memancing
menjadikan saya ketagihan, betapa tidak kalau memancing seakan seperti mengail
ikan-ikan-an mainan anak-anak yang kita bisa memilih sendiri ikan yang akan
kita pancing. Sekali memancing, 2 orang (saya dengan murid saya) saya bisa
membawa pulang ikan 1 ember, padahal hanya dalam waktu kurang dari 1 jam.
Suatu hari, tepatnya hari minggu saat
itu, datanglah 2 orang murid saya ke rumah, sebuah rumah panggung yang apabila
siang panasnya bak oven raksasa karena atapnya yang terbuat dari seng dan
lantai kayu dilapisi karpet plastik. Mereka terlihat membawa bungkusan besar
yang terbuat dari daun pisang, "Assalamu'alaikum pak guru, pak kami ingin
barter dengan Pak Gaguk." kata Acok, begitu dia sering dipanggil
teman-temannya di sekolah, padahal nama aslinya Aditya Saputra.
"Wa'alaikumsalam.., barter apa?" tanya saya dengan agak heran. Mereka
ini rumahnya agak jauh dari tempat saya tinggal, tepatnya dia tinggal di
kawasan Morisem 2 estate, sedangkan saya di Morisem 3 estate, jarak kedua
ladang sekitar 12 km. "Kami ingin barter jamur dengan kabirau pak",
kata murid saya satunya lagi, Andi. Saya paham yang dimaksud kabirau itu adalah
do'a iftitah, mereka sedang belajar keras tentang sholat, mereka sudah duduk di
kelas 5 tapi belum pandai bacaan-bacaan sholat. "Yaampun, jadi kalian tadi
cari jamurnya dimana? Terus ke sini naik apa?" cecarku agak terkejut
mendengar jawaban Andi tadi. "Di blok lah pak.., di bekas tandan kosong,
kami jalan kaki sudah biasa pak, bukan jauh", jawab Andi dengan logat
bugisnya. Ya hampir 98 % TKI di sini memang dari Sulawesi, utamanya suku bugis.
12 km tidak jauh? Gumamku dalam hati. Akhirnya mereka belajar menghafal do'a
iftitah di rumah, setelah sebelumnya saya tuliskan di papan yang memang saya
sediakan jika ada anak yang mau belajar di rumah. Sementara mereka menghafal,
saya memasak jamur yang mereka bawa. Mereka belum hafal saat itu juga, tetapi
saya sangat menghargai dan kagum akan kesungguhan mereka untuk mencari ilmu dan
menghargai ilmu, walau dengan cara yang mungkin bagi sebagian orang sederhana,
tapi menurut saya ini hal yang luar biasa. Saya ajak mereka makan bersama
dengan menu tumis jamur, telur dadar dan sambal belacan ditambah kerupuk udang.
Saya ajarkan bagaimana adab makan yang benar, saya ajak berdoa sebelum makan,
membersihkan meja makan dan sebagainya. Nah dengan praktek langsung seperti ini
menurut saya lebih efektif dibanding kita berpodato 1 jam di dalam kelas.
Mereka anak-anak di sini haus akan sentuhan kasih sayang dari orang tuanya,
haus akan pendidikan akhlak dan budi pekerti. Mereka yang tinggal di
rumah-rumah reyot yang disediakan perusahaan ini, belajar dengan kerasnya
kehidupan. Para orang tua mereka waktunya habis untuk bekerja, jam 5 pagi sudah
harus berkumpul di pooling untuk diabsen di sebuah tempat, kemudian dikirim ke
blok-blok kelapa sawit menggunakan kendaraan traktor dengan bak terbuka yang
biasa digunakan untuk mengangkut buah kelapa sawit. Sementara pulang kerja jam
5 petang, praktis anak-anak mereka dibiarkan bermain seharian, dan belajar
sendiri tentang kehidupan. Di sinilah pentingnya peran guru menurut saya,
membantu mendampingi anak-anak itu, agar tidak salah mengartikan arti hidup dan
kehidupan serta memiliki pedoman yang jelas dalam menyongsong masa depannya
masing-masing. Hari sudah sore, Acok dan Andi akhirnya berpamitan pulang dengan
membawa sepenggal hasil hafalan doa iftitah. Jamur barter dengan doa iftitah.
Sesuatu yang sederhana dan menjadi luar biasa, semua tergantung niat dan
semangat. Semenjak itu, mereka dengan teman-temannya yang lain sering pergi ke
rumah dan mereka sebut akan barter. Ada yang bawa pakis mau dibarter dengan
soal matematika, ada yang bawa ubi dibarter dengan minta diajari membuat
pelangi, bahkan sering juga ada yang bawa ayam hutan mau dibarter dengan
mengajak bermain bulu tangkis. Namun suatu ketika saya jelaskan, sistem barter
sekarang sudah tidak ngetrend lagi, skrg harus melalui transaksi online kata
saya. Tidak berlaku lagi sistem barter, haha saya takut saja ini menjadi turun
temurun dan salah kaprah. "Onlen melalui fesbuk ya pak guru?" kata
Enka, disambut tawa teman-temannya suatu sore yang indah, di depan rumah di
sebuah meja kayu yang tebal di bawah pohon kedondong yang sering dihinggapi
burung serawak, perkutut, murai dan jalak. "Begini, Pak Guru sudah tidak
memberlakukan sostem barter lagi, tapi via online dengan Alloh. Anak-anak cukup
mendoakan pak guru, orang tua kalian, saudara-saudara kalian di setiap doa-doa
kalian minimal setelah sembahyang 5 waktu atai saat di gereja bagi yang non
muslim. Doa itu adalah alat membayar ilmu yang telah kalian dapat dari gurumu,
riski yang telah diterima melalui orang tuamu, kasih sayang dari orang-orang di
sekitarmu". Jawabku.
No comments:
Post a Comment