Tuatul Mahfud, M.Pd,
Pria kelahiran Kudus tanggal 25 September 1986 ini Lulusan dari Magister
Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UNY, dan Sarjana Pendidikan Tata boga UNJ.
Saat ini ia bertugas mengajar di sekolah humana house 125 (SD) ladang Jeleta
Bumi dan CLC/TKB (SMP) Jeleta Bumi. Keterampilan yang ia miliki di bidang
cullinary saat ini dibutuhkan untuk menunjang dalam pembelajaran keterampilan
di CLC Mostyn, TKB Jeleta Bumi, dan TKB Sungang.
Keluar
Dari Zona Nyaman
Seperempat perjalanan dari masa kontrak 2 tahun sudah dilalui, artinya 6
bulan lebih saya telah menjalankan amanah yang tertuang dalam pembukaan UUD 45
yaitu mencerdaskan anak bangsa, lebih tepatnya amanah sebagai seorang guru di
Sabah-Malaysia. Sejak awal saya menyadari bahwa amanah ini amatlah berat, namun
bukanlah menjadikan alasan bagi saya untuk menolaknya. Betapa tidak, sejak awal
yang terbayangkan, kelak saya akan mengajar anak-anak TKI di luar negeri dengan
kultur dan kondisi yang jauh berbeda dengan Tanah Air. Yang saya ajar dan didik
bukanlah anak-anak TKI yang tinggal di kota dengan fasilitas hidup dan
pembelajaran yang lengkap dan mendukung, namun yang saya ajar dan didik adalah
anak-anak TKI yang tinggal di perkebunan kelapa sawit. Mereka tinggal di estate
(perumahan) yang disediakan oleh pihak ladang kelapa sawit, dimana estate
tersebut jauh dari akses perkotaan, estate tersebut ada di tengah-tengah hutan
kelapa sawit. Bahkan mereka harus berkejaran dengan polisi setempat ketika
sidak penduduk illegal dilakukan, sebagian besar dari mereka adalah penduduk
illegal dikarenakan tidak memiliki berkas kependudukan. Itulah potret masa
depan bangsa yang ada diperkebunan kelapa sawit di Sabah. Bagaimanapun juga
mereka adalah bagian dari bangsa kita yang menentukan masa depan bangsa kelak.
Jauhnya akses perkotaan dari tempat tinggal saya mengakibatkan sulitnya
dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Untuk sekedar mencari sayur mayur dan
buah-buahan saja sulitnya luar biasa dan harganya pun mahal. Bahkan sehari-hari
saya sudah terbiasa makan hanya dengan bertemankan mie dan telur, karena itulah
yang ada diladang.
Meskipun demikian, tidak menyurutkan semangat saya untuk tetap mendidik
mereka. Karena pada dasarnya merekapun memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan layaknya anak-anak Indonesia di negaranya sendiri dan hal ini
menjadi tanggungjawab Negara seperti yang terkutip dalam UU RI No.20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Negara berkewajiban melaksanakan
penyelenggaraan pendidikan wajib belajar 9 tahun untuk setiap warga Negara baik
yang tinggal di wilayah NKRI maupun diluar negeri. Dengan dasar inilah saya
tidak bisa mengabaikan hak-hak mereka dalam mendapatkan layanan pendidikan terutama
diluar negeri. Bagi saya amanah ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri, saya
memandang amanah ini adalah amanah yang mulia yang tak sekedar mentransfer ilmu
kepada peserta didik namun lebih dari itu. Selain sebagai seorang pengajar,
saya pun seorang pendidik. Mengajar dan mendidik masing-masing memiliki
maknayang berbeda, mengajar berkaitan dengan how to transfer knowledge
sedangkan mendidik berkaitan dengan how to change behaviour. Dua
peran inilah yang sejatinya harus disadari dan melekat pada diri seorang guru.
Berdasarkan kontrak kerja, saya ditugaskan untuk mengajar anak-anak TKI yang
bersekolah di Pusat Bimbingan Belajar Humana pada tingkat Sekolah Dasar (SD) di
ladang Jeleta Bumi. Melihat kondisi disini saya sangat prihatin terhadap
anak-anak tersebut, karena saat itu mereka hanya bisa bersekolah sampai pada
tingkat SD saja, sedangkan mereka dan orang tuanya berharap besar untuk dapat
melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Untuk dapat melanjutkan ke sekolah
formal saja mereka terbentur dengan legalitas diri dan biaya. Sedangkan di
ladang saya saat itu belum ada layanan pendidikan untuk tingkat SMP yang
disediakan oleh pemerintah RI. Akhirnya demi menjamin keberlangsungan pelayanan
pendidikan wajib belajar sembilan tahun untuk warga Negara Indonesia setempat
maka saya harus keluar dari zona nyaman dan menambah beban tanggungjawab yaitu
dengan mencoba membuka SMP Terbuka atau dikenal dengan istilah Community
Learning Center (LC) pada tingkat SMP. Tepat pada hari Kamis tanggal 15
Desember 2011 Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMPT) mulai beroperasi di
ladang saya dan pada saat yang bertepatan pula sekolah saya mendapat kunjungan
dari staff kemendiknas RI, yaitu Bapak Daryanto, ST.MT; Ibu Asiah, B.A; dan Ibu
Elly Wismayanti; dan ditemani salah satu staf konsulat RI Tawau, mas Anjar.
Kedatangan beliau merupakan kunjungan untuk verifikasi data SMP Terbuka dan
Pusat Bimbingan Belajar HUMANA di ladang saya, dan sekaligus untuk mensupervisi
kegiatan belajar di sekolah saya.
Dikarenakan salah satu persyaratan pembukaan CLC harus memiliki murid
minimal berjumlah 30 orang dan memiliki ijazah SD atau Ijazah paket A sedangkan
murid usia SMP yang telah memiliki ijazah SD ataupun ijazah paket A di ladang
saya hanya berjumlah 12 murid, maka saya belum dapat membuka CLC secara
mandiri. Dan sebagai solusinya saya membuka TKB (Tempat Kegiatan Belajar)
dengan menginduk pada CLC terdekat yaitu CLC Ladang Mostyn.
Baru-baru ini saya mendapat berita yang menggembirakan, bahwa pelayanan
pendidikan CLC untuk anak-anak Indonesia di Sabah telah disetujui pendiriannya
oleh Kementerian Pelajaran Malaysia sejak pada tanggal 25 November 2011, hal
ini memberikan dampak langsung dalam hal perluasan akses pelayanan pendidikan
di ladang-ladang yang belum tersentuh layanan tersebut. Menindaklanjuti
kebijakan tersebut maka saya pada tahun tahun ajaran 2012/2013 ini mencoba
mengusulkan pendirian CLC Jeleta Bumi secara mandiri sebagai bentuk perluasan
akses layanan pendidikan untuk anak-anak Indonesia di sektor perkebunan. Dan
dalam hal perekruitan siswa saya merangkul siswa dari Ladang Binuang, Ladang
Tingkayu, dan Ladang Tun Fuad yang selanjutnya akan dijadikan TKB atau sub CLC
dari Jeleta Bumi.
Seragam Baru Untuk Muridku
Rabu, 28 maret 2012 merupakan hari yang berkesan bagi saya dalam menjalankan
tugas mengajar untuk anak-anak TKI di Sabah – Malaysia. Betapa tidak, karena
keinginan yang sejak awal kali melibatkan diri untuk mengajar di CLC tingkat
SMP terwujud sudah. Keinginan tersebut yaitu membelikan seragam baru untuk
mereka, karena sebelumnya mereka tidak mengenakan seragam ketika sekolah,
seragam tersebut dibelikan dari anggaran dana beasiswa siswa CLC.
Kini mereka terlihat bangga mengenakan seragam tersebut, kata salah seorang
dari mereka “best lah ini Sir, ini baru benar-benar macam sekolah
Indonesia, thanks ya Sir”. Hadirnya CLC diladang saya menjadi soroton bagi
masyarakat, karena siswa tidak perlu membayar dalam mengikuti sekolah tersebut
dan alat-alat pembelajaran pun dibelikan oleh pemerintah RI. Tidak seperti
Pusat Bimbingan Belajar Humana dimana mereka harus membayar untuk dapat
mengikuti pembelajaran di sekolah, padahal pihak ladang dalam hal ini pun sudah
membayar ke pihak Humana. Beberapa anak di ladang pun yang sudah bekerja
sebagai pemungut biji sawit dan pemupuk (kompos) sawit tertarik dan termotivasi
mengikuti CLC. Dan saat ini ada beberapa siswa saya yang tetap belajar di CLC
tanpa meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya, hal ini dikarenakan saya setting
jadwal belajar sefleksibel mungkin agar siswa tetap bisa belajar.
Setidaknya dengan pengadaan seragam ini dapat menginisiasi adanya CLC di
ladang, sehingga masyarakat dapat mengetahui adanya kegiatan belajar SMP
diladang mereka. Adanya CLC dapat merubah cara pandang para orang tua, bahwa
setelah lulus SD anak-anak tidak diarahkan bekerja oleh para orang tua
melainkan anak-anak diarahkan untuk tetap bersekolah.
Ucapan Terimakasih Dari Murid Philipine
Sore itu, 1 April 2012 ada SMS masuk di handphone saya, SMS ini saya terima
setelah mengajar kelas keterampilan tata boga di CLC Mostyn. SMS tersebut
ternyata dari salah seorang siswa saya, yang isi pesan tersebut yaitu “Assalamu’alaikum
Chef, Zena sangat gembira hari ini dapat memasak bersama teman-teman, Chef gak
seperti cikgu-cikgu yang lain. Tapi yang kasihan tu Zena dan teman-teman lapar
sangat, sudah la kaki Zena sakit dan yang buat Zena geram tu payung Zena
tertinggal terus di sekolah dari kemarin lagi, terpaksa la Zena balik lagi ke
sekolah. Hai sungguh kasihan ya tapi tidak apa, Janji Happy and Thanks Chef.”
Zena atau Rozaina merupakan salah satu siswa saya di CLC (SMP) di ladang
Mostyn, dia satu-satunya siswa CLC yang berkewarganegaraan Philipine. Memang
berdasarkan aturannya harusnya dia tidak bisa mengikuti pembelajaran di CLC
karena CLC hanya diperuntukkan untuk anak-anak Indonesia. Namun atas dasar hati
nurani para guru-guru akhirnya Zena diizinkan untuk bisa mengikuti pembelajaran
di CLC tanpa membayar, hanya saja dia tidak mendapatkan hak beasiswa dari
pemerintahan RI. Namun demikian, senangnya bukan main tatkala ia bisa diterima
sekolah di CLC. Beberapa saat setelah SMS pertama masuk, ada SMS berikutnya “Zena
sangat bersyukur sekali cause di terima sekolah di CLC walaupun Zena bukan
orang Indonesia. Zena selalu berdoa agar Zena diterima sekolah di CLC, kalau tak
mungkin sekarang Zena tak ada disini terpaksa la Zena sambung sekolah di
kampung Philipine, tapi syukur Alhamdulillah Zena di terima sekolah walaupun
Zena tidak dapat bayaran siswa (beasiswa).”
Memang sejak adanya kelas keterampilan tata boga, sekarang jadwal mengajar
saya tidak hanya mengajar di ladang saya saja namun juga mengajar di ladang
lain. Selain mengajar di Pusat Bimbingan Humana dan CLC Jeleta Bumi juga
mengajar di CLC ladang tetangga yaitu di CLC Ladang Mostyn, jaraknya sekitar 30
km dari tempat saya tinggal. Senin hingga Jum’at saya mengajar di Humana dan
sorenya mengajar CLC di ladang Jeleta Bumi, sedangkan Sabtu dan Minggu mengajar
di CLC Ladang Mostyn dua minggu sekali. Meskipun dengan padatnya jadwal
mengajar tersebut, sepertinya rasa lelah hilang sudah ketika melihat
siswa-siswa saya senang dan gembira karena kehadiran saya. Rasanya saya juga
merasakan gembira karena bisa bermanfaat untuk orang lain, bukankah hal ini
senada dengan Hadits Rasulullah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang
bermanfaat untuk orang lain. Alhamdulillah…
Semoga dengan adanya layanan pendidikan untuk anak-anak Indonesia di luar
negeri memberikan dampak positif untuk masa depan bangsa. Dan setidaknya
pemerintah masih peduli terhadap nasib anak-anak bangsa di luar negeri
khususnya anak-anak TKI di perkebunan kelapa sawit di Sabah bahwa masa depan
bangsa ada ditangan mereka.
Seperti halnya para petani, petani bijak amat
mengerti akan arti pentingnya sebuah proses pembibitan. Jika ia tidak menabur
benih, ia tentu tidak mengharapkan adanya hasil panen. Petani bijak juga amat
mengerti bahwa nilai dari benih-benih padi yang unggul yang ditanamnya, jika
benih yang unggul yang ditanamnya maka tidak heran jika yang tumbuh adalah padi
yang unggul juga. Dan hal ini pun berlaku pada proses pendidikan kita. Pepatah
tua yang tak lekang oleh waktu mengingatkan kita bahwa, “Apa yang kita
tanam,itulah yang kita tuai”. Jika kita para guru menanam semangat dan motivasi
yang tinggi serta usaha yang keras untuk berprestasi pada anak-anak didik kita,
maka niscaya hasilnya pun akan terlihat dengan jelas. Mari kita ukir dan
torehkan sejarah pada masa depan bangsa, dan itu berawal dari sekarang dan
seterusnya.
No comments:
Post a Comment