Wednesday, April 25, 2012

Masa Depan Bangsa Ada di Tangan Mereka


Tuatul Mahfud, M.Pd, Pria kelahiran Kudus tanggal 25 September 1986 ini Lulusan dari Magister Pendidikan Teknologi dan Kejuruan UNY, dan Sarjana Pendidikan Tata boga UNJ. Saat ini ia bertugas mengajar di sekolah humana house 125 (SD) ladang Jeleta Bumi dan CLC/TKB (SMP) Jeleta Bumi. Keterampilan yang ia miliki di bidang cullinary saat ini dibutuhkan untuk menunjang dalam pembelajaran keterampilan di CLC Mostyn, TKB Jeleta Bumi, dan TKB Sungang.

Keluar Dari Zona Nyaman
Seperempat perjalanan dari masa kontrak 2 tahun sudah dilalui, artinya 6 bulan lebih saya telah menjalankan amanah yang tertuang dalam pembukaan UUD 45 yaitu mencerdaskan anak bangsa, lebih tepatnya amanah sebagai seorang guru di Sabah-Malaysia. Sejak awal saya menyadari bahwa amanah ini amatlah berat, namun bukanlah menjadikan alasan bagi saya untuk menolaknya. Betapa tidak, sejak awal yang terbayangkan, kelak saya akan mengajar anak-anak TKI di luar negeri dengan kultur dan kondisi yang jauh berbeda dengan Tanah Air. Yang saya ajar dan didik bukanlah anak-anak TKI yang tinggal di kota dengan fasilitas hidup dan pembelajaran yang lengkap dan mendukung, namun yang saya ajar dan didik adalah anak-anak TKI yang tinggal di perkebunan kelapa sawit. Mereka tinggal di estate (perumahan) yang disediakan oleh pihak ladang kelapa sawit, dimana estate tersebut jauh dari akses perkotaan, estate tersebut ada di tengah-tengah hutan kelapa sawit. Bahkan mereka harus berkejaran dengan polisi setempat ketika sidak penduduk illegal dilakukan, sebagian besar dari mereka adalah penduduk illegal dikarenakan tidak memiliki berkas kependudukan. Itulah potret masa depan bangsa yang ada diperkebunan kelapa sawit di Sabah. Bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari bangsa kita yang menentukan masa depan bangsa kelak.
Jauhnya akses perkotaan dari tempat tinggal saya mengakibatkan sulitnya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Untuk sekedar mencari sayur mayur dan buah-buahan saja sulitnya luar biasa dan harganya pun mahal. Bahkan sehari-hari saya sudah terbiasa makan hanya dengan bertemankan mie dan telur, karena itulah yang ada diladang.
Meskipun demikian, tidak menyurutkan semangat saya untuk tetap mendidik mereka. Karena pada dasarnya merekapun memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan layaknya anak-anak Indonesia di negaranya sendiri dan hal ini menjadi tanggungjawab Negara seperti yang terkutip dalam UU RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Negara berkewajiban melaksanakan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar 9 tahun untuk setiap warga Negara baik yang tinggal di wilayah NKRI maupun diluar negeri. Dengan dasar inilah saya tidak bisa mengabaikan hak-hak mereka dalam mendapatkan layanan pendidikan terutama diluar negeri. Bagi saya amanah ini adalah sebuah kebanggaan tersendiri, saya memandang amanah ini adalah amanah yang mulia yang tak sekedar mentransfer ilmu kepada peserta didik namun lebih dari itu. Selain sebagai seorang pengajar, saya pun seorang pendidik. Mengajar dan mendidik masing-masing memiliki maknayang berbeda, mengajar berkaitan dengan how to transfer knowledge sedangkan mendidik berkaitan dengan how to change behaviour.  Dua peran inilah yang sejatinya harus disadari dan melekat pada diri seorang guru.
Berdasarkan kontrak kerja, saya ditugaskan untuk mengajar anak-anak TKI yang bersekolah di Pusat Bimbingan Belajar Humana pada tingkat Sekolah Dasar (SD) di ladang Jeleta Bumi. Melihat kondisi disini saya sangat prihatin terhadap anak-anak tersebut, karena saat itu mereka hanya bisa bersekolah sampai pada tingkat SD saja, sedangkan mereka dan orang tuanya berharap besar untuk dapat melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. Untuk dapat melanjutkan ke sekolah formal saja mereka terbentur dengan legalitas diri dan biaya. Sedangkan di ladang saya saat itu belum ada layanan pendidikan untuk tingkat SMP yang disediakan oleh pemerintah RI. Akhirnya demi menjamin keberlangsungan pelayanan pendidikan wajib belajar sembilan tahun untuk warga Negara Indonesia setempat maka saya harus keluar dari zona nyaman dan menambah beban tanggungjawab yaitu dengan mencoba membuka SMP Terbuka atau dikenal dengan istilah Community Learning Center (LC) pada tingkat SMP. Tepat pada hari Kamis tanggal 15 Desember 2011 Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMPT)  mulai beroperasi di ladang saya dan pada saat yang bertepatan pula sekolah saya mendapat kunjungan dari staff kemendiknas RI, yaitu Bapak Daryanto, ST.MT; Ibu Asiah, B.A; dan Ibu Elly Wismayanti; dan ditemani salah satu staf konsulat RI Tawau, mas Anjar. Kedatangan beliau merupakan kunjungan untuk verifikasi data SMP Terbuka dan Pusat Bimbingan Belajar HUMANA di ladang saya, dan sekaligus untuk mensupervisi kegiatan belajar di sekolah saya.
Dikarenakan salah satu persyaratan pembukaan CLC harus memiliki murid minimal berjumlah 30 orang dan memiliki ijazah SD atau Ijazah paket A sedangkan murid usia SMP yang telah memiliki ijazah SD ataupun ijazah paket A di ladang saya hanya berjumlah 12 murid, maka saya belum dapat membuka CLC secara mandiri. Dan sebagai solusinya saya membuka TKB (Tempat Kegiatan Belajar) dengan menginduk pada CLC terdekat yaitu CLC Ladang Mostyn.
Baru-baru ini saya mendapat berita yang menggembirakan, bahwa pelayanan pendidikan CLC untuk anak-anak Indonesia di Sabah telah disetujui pendiriannya oleh Kementerian Pelajaran Malaysia sejak pada tanggal 25 November 2011, hal ini memberikan dampak langsung dalam hal perluasan akses pelayanan pendidikan di ladang-ladang yang belum tersentuh layanan tersebut. Menindaklanjuti kebijakan tersebut maka saya pada tahun tahun ajaran 2012/2013 ini mencoba mengusulkan pendirian CLC Jeleta Bumi secara mandiri sebagai bentuk perluasan akses layanan pendidikan untuk anak-anak Indonesia di sektor perkebunan. Dan dalam hal perekruitan siswa saya merangkul siswa dari Ladang Binuang, Ladang Tingkayu, dan Ladang Tun Fuad yang selanjutnya akan dijadikan TKB atau sub CLC dari Jeleta Bumi.

Seragam Baru Untuk Muridku
Rabu, 28 maret 2012 merupakan hari yang berkesan bagi saya dalam menjalankan tugas mengajar untuk anak-anak TKI di Sabah – Malaysia. Betapa tidak, karena keinginan yang sejak awal kali melibatkan diri untuk mengajar di CLC tingkat SMP terwujud sudah. Keinginan tersebut yaitu membelikan seragam baru untuk mereka, karena sebelumnya mereka tidak mengenakan seragam ketika sekolah, seragam tersebut dibelikan dari anggaran dana beasiswa siswa CLC.
Kini mereka terlihat bangga mengenakan seragam tersebut, kata salah seorang dari mereka “best lah ini Sir, ini baru benar-benar macam sekolah Indonesia, thanks ya Sir”. Hadirnya CLC diladang saya menjadi soroton bagi masyarakat, karena siswa tidak perlu membayar dalam mengikuti sekolah tersebut dan alat-alat pembelajaran pun dibelikan oleh pemerintah RI. Tidak seperti Pusat Bimbingan Belajar Humana dimana mereka harus membayar untuk dapat mengikuti pembelajaran di sekolah, padahal pihak ladang dalam hal ini pun sudah membayar ke pihak Humana. Beberapa anak di ladang pun yang sudah bekerja sebagai pemungut biji sawit dan pemupuk (kompos) sawit tertarik dan termotivasi mengikuti CLC. Dan saat ini ada beberapa siswa saya yang tetap belajar di CLC tanpa meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya, hal ini dikarenakan saya setting jadwal belajar sefleksibel mungkin agar siswa tetap bisa belajar.
Setidaknya dengan pengadaan seragam ini dapat menginisiasi adanya CLC di ladang, sehingga masyarakat dapat mengetahui adanya kegiatan belajar SMP diladang mereka. Adanya CLC dapat merubah cara pandang para orang tua, bahwa setelah lulus SD anak-anak tidak diarahkan bekerja oleh para orang tua melainkan anak-anak diarahkan untuk tetap bersekolah.

Ucapan Terimakasih Dari Murid Philipine
Sore itu, 1 April 2012 ada SMS masuk di handphone saya, SMS ini saya terima setelah mengajar kelas keterampilan tata boga di CLC Mostyn. SMS tersebut ternyata dari salah seorang siswa saya, yang isi pesan tersebut yaitu “Assalamu’alaikum Chef, Zena sangat gembira hari ini dapat memasak bersama teman-teman, Chef gak seperti cikgu-cikgu yang lain. Tapi yang kasihan tu Zena dan teman-teman lapar sangat, sudah la kaki Zena sakit dan yang buat Zena geram tu payung Zena tertinggal terus di sekolah dari kemarin lagi, terpaksa la Zena balik lagi ke sekolah. Hai sungguh kasihan ya tapi tidak apa, Janji Happy and Thanks Chef.”
Zena atau Rozaina merupakan salah satu siswa saya di CLC (SMP) di ladang Mostyn, dia satu-satunya siswa CLC yang berkewarganegaraan Philipine. Memang berdasarkan aturannya harusnya dia tidak bisa mengikuti pembelajaran di CLC karena CLC hanya diperuntukkan untuk anak-anak Indonesia. Namun atas dasar hati nurani para guru-guru akhirnya Zena diizinkan untuk bisa mengikuti pembelajaran di CLC tanpa membayar, hanya saja dia tidak mendapatkan hak beasiswa dari pemerintahan RI. Namun demikian, senangnya bukan main tatkala ia bisa diterima sekolah di CLC. Beberapa saat setelah SMS pertama masuk, ada SMS berikutnya “Zena sangat bersyukur sekali cause di terima sekolah di CLC walaupun Zena bukan orang Indonesia. Zena selalu berdoa agar Zena diterima sekolah di CLC, kalau tak mungkin sekarang Zena tak ada disini terpaksa la Zena sambung sekolah di kampung Philipine, tapi syukur Alhamdulillah Zena di terima sekolah walaupun Zena tidak dapat bayaran siswa (beasiswa).”
Memang sejak adanya kelas keterampilan tata boga, sekarang jadwal mengajar saya tidak hanya mengajar di ladang saya saja namun juga mengajar di ladang lain. Selain mengajar di Pusat Bimbingan Humana dan CLC Jeleta Bumi juga mengajar di CLC ladang tetangga yaitu di CLC Ladang Mostyn, jaraknya sekitar 30 km dari tempat saya tinggal. Senin hingga Jum’at saya mengajar di Humana dan sorenya mengajar CLC di ladang Jeleta Bumi, sedangkan Sabtu dan Minggu mengajar di CLC Ladang Mostyn dua minggu sekali. Meskipun dengan padatnya jadwal mengajar tersebut, sepertinya rasa lelah hilang sudah ketika melihat siswa-siswa saya senang dan gembira karena kehadiran saya. Rasanya saya juga merasakan gembira karena bisa bermanfaat untuk orang lain, bukankah hal ini senada dengan Hadits Rasulullah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Alhamdulillah…
Semoga dengan adanya layanan pendidikan untuk anak-anak Indonesia di luar negeri memberikan dampak positif untuk masa depan bangsa. Dan setidaknya pemerintah masih peduli terhadap nasib anak-anak bangsa di luar negeri khususnya anak-anak TKI di perkebunan kelapa sawit di Sabah bahwa masa depan bangsa ada ditangan mereka.
Seperti halnya para petani, petani bijak amat mengerti akan arti pentingnya sebuah proses pembibitan. Jika ia tidak menabur benih, ia tentu tidak mengharapkan adanya hasil panen. Petani bijak juga amat mengerti bahwa nilai dari benih-benih padi yang unggul yang ditanamnya, jika benih yang unggul yang ditanamnya maka tidak heran jika yang tumbuh adalah padi yang unggul juga. Dan hal ini pun berlaku pada proses pendidikan kita. Pepatah tua yang tak lekang oleh waktu mengingatkan kita bahwa, “Apa yang kita tanam,itulah yang kita tuai”. Jika kita para guru menanam semangat dan motivasi yang tinggi serta usaha yang keras untuk berprestasi pada anak-anak didik kita, maka niscaya hasilnya pun akan terlihat dengan jelas. Mari kita ukir dan torehkan sejarah pada masa depan bangsa, dan itu berawal dari sekarang dan seterusnya.

No comments: